Probolinggo, Lensaupdate.com - Di tengah kesibukan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Probolinggo, Anandayu Maulidia menemukan cara sederhana namun bermakna untuk menenangkan pikirannya melalui secangkir kopi hitam. Dari dapur rumah hingga lautan pasir Gunung Bromo, kopi telah menjadi bagian penting dari perjalanan hidupnya.
Kecintaannya pada kopi berawal dari kebiasaan masa kecil melihat sang ibu menyeduh kopi setiap pagi. “Awalnya cuma iseng, melihat ibu selalu bikin kopi hitam. Karena penasaran, saya ikut nyicip,” kenang perempuan kelahiran 1986 itu sambil tersenyum.
Kini, setiap tegukan kopi menjadi ritual reflektif dan sumber inspirasi bagi Anandayu. Baginya, kopi adalah simbol kehidupan sebuah proses panjang yang melahirkan rasa terbaik. “Kopi itu teman berpikir. Setiap cangkir mengingatkan bahwa sesuatu yang enak lahir dari proses panjang mulai dari petik, roasting hingga seduh. Filosofi itu sama dengan kehidupan dan pekerjaan,” ujarnya.
Di antara berbagai jenis kopi lokal Probolinggo, Kopi Nangka menjadi favoritnya karena cita rasa manis buah dan karakter aromanya yang kuat. Tak hanya dinikmati di rumah atau kantor, ritual ngopi Anandayu juga kerap dilakukan di tempat yang ia sebut “ruang syukur”: Lautan Pasir Gunung Bromo.
“Ngopi di Bromo bukan soal kafein, tapi soal rasa syukur. Di sana saya belajar menikmati alam dalam diam dan memberi ruang untuk diri sendiri,” tuturnya.
Selain penikmat kopi, Anandayu juga seorang fotografer yang gemar mengabadikan momen seputar kopi. Melalui akun Instagram pribadinya @kopi_hiitam, ia menampilkan potret kopi lokal Probolinggo dari sudut pandang estetika dan makna. “Setiap cangkir punya cerita. Ada keindahan dalam detail kecil, uap hangat, dan pantulan cahaya. Saya ingin menyampaikan rasa lewat visual,” jelasnya.
Ia percaya, kopi lokal bukan hanya produk pertanian, melainkan bagian dari identitas budaya Probolinggo. “Kopi lokal punya karakter kuat, bukan hanya dari rasa, tapi juga konteks budayanya. Misalnya, Kopi Nangka disajikan dengan latar Gunung Bromo, itu sudah jadi cerita yang kuat,” tambahnya.
Pandangan Anandayu sejalan dengan Ika Ratmawati selaku POPT Perkebunan dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya. Menurutnya, wilayah lereng Argopuro memiliki kondisi agroklimat ideal untuk menghasilkan kopi unggulan. “Tak heran kalau Kopi Argopuro dan Kopi Nangka memiliki cita rasa khas dan mudah dikenali,” tegasnya.
BBPPTP bersama Kementerian Pertanian juga terus melakukan pembinaan bagi petani kopi Probolinggo melalui pelatihan, sertifikasi mutu benih hingga pendampingan pascapanen. “Kami ingin memastikan kualitas kopi Probolinggo tetap terjaga dari hulu ke hilir,” ujarnya.
Cinta terhadap kopi lokal itu akan semakin terasa pada “Hyang Argopuro Coffee Festival”, yang digelar 8–9 November 2025 di Bermi Eco Park, Kecamatan Krucil. Festival ini akan menampilkan Kopi Argopuro, Kopi Nangka, barista performance, coffee cupping hingga pameran produk kreatif berbasis kopi.
“Kopi Probolinggo punya masa depan cerah. Yang dibutuhkan adalah sinergi antara petani, pemerintah dan generasi muda seperti Anandayu untuk menjaga kualitas dan memperkuat branding,” kata Ika.
Bagi Anandayu, secangkir kopi bukan hanya minuman. Ia adalah simbol kerja keras, kolaborasi dan kesabaran. “Dari kopi, saya belajar bahwa hasil terbaik lahir dari proses panjang dan kerja sama banyak tangan,” pungkasnya. (mel/fas)
