Maron, Lensaupdate.com - Di tengah perkembangan zaman, Musholla Al-Hidayah yang berada di Dusun Candi Desa Wonorejo Kecamatan Maron tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan bagi masyarakat sekitar. Berdiri sejak tahun 1965, musholla ini telah mencetak ratusan santri dan menjadi bagian dari sejarah perjalanan dakwah di wilayah tersebut.
Musholla ini didirikan oleh almarhum Sukarsam atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Maksum, seorang guru ngaji asal Desa Maron Kidul Kecamatan Maron. Awalnya, musholla berdiri di rumahnya dengan konstruksi semi permanen dari kayu dan anyaman bambu (gedek).
Pada tahun 1970, setelah berpindah ke Dusun Candi, Mbah Maksum membawa kembali material dari musholla lama untuk membangun musholla baru. Menariknya, pembangunan ini dilakukan secara gotong royong oleh warga sekitar. Karena material yang ada tidak mencukupi, warga turut membantu menebang bambu dan kayu dari sekitar sungai.
“Bapak dulu membangun musholla dari kayu dan bambu seadanya. Warga juga ikut membantu agar musholla ini bisa berdiri,” kenang Hosniyati (56), putri kedua Mbah Maksum.
Salah satu ciri khas dari musholla ini adalah konstruksinya yang menyerupai rumah panggung dengan lantai yang dibuat setinggi satu meter dari tanah. Desain ini bertujuan agar ternak tidak masuk ke dalam musholla, sehingga kesuciannya tetap terjaga.
Seiring waktu, Musholla Al-Hidayah berkembang menjadi pusat kegiatan keislaman di Dusun Candi. Selain sebagai tempat sholat berjamaah, musholla ini juga digunakan untuk pengajian, sholawatan dan tempat mengaji bagi anak-anak sekitar.
Awalnya, tanpa adanya pengeras suara, musholla ini hanya menggunakan bedug dari batang pohon jati sebagai penanda waktu sholat. Hingga akhirnya, semakin banyak warga yang datang untuk mengikuti berbagai kegiatan keagamaan.
“Santri bapak dulu banyak, ada ratusan. Sebagian besar setelah belajar di sini melanjutkan ke pondok pesantren,” ujar Hosniyati.
Setelah digunakan selama puluhan tahun, kondisi musholla semakin lapuk akibat cuaca dan usia. Beberapa kali dilakukan renovasi kecil dengan mengganti kayu dan bambu yang mulai rapuh. Bahkan, bedug yang digunakan harus dua kali diganti kulitnya karena sudah jebol akibat sering digunakan.
Setelah wafatnya Mbah Maksum pada tahun 2020 di usia 81 tahun, musholla ini dikelola oleh Hosniyati dan suaminya. Namun, karena bangunan semakin rapuh dan berisiko roboh, pada tahun 2021 musholla ini akhirnya dibongkar dan dibangun kembali dengan konstruksi permanen.
Kini, Musholla Al-Hidayah memiliki ukuran 6x5 meter dengan material batu bata merah, menjadikannya lebih kokoh. Meski banyak bagian yang diperbarui, bedug asli dari zaman Mbah Maksum tetap dipertahankan sebagai bagian dari sejarah musholla.
Hingga saat ini, Musholla Al-Hidayah masih menjadi pusat ibadah dan pendidikan agama bagi masyarakat sekitar. Keberadaannya tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan dakwah Mbah Maksum, tetapi juga mencerminkan kuatnya nilai gotong royong dalam menjaga warisan keislaman di daerah ini.
“Yang masih asli dari dulu cuma bedugnya. Kayunya tetap sama, hanya dilapisi cat supaya tidak dimakan rayap,” tambah Hosniyati.
Musholla ini membuktikan bahwa nilai-nilai keagamaan bisa terus lestari seiring dengan perubahan zaman. Bukan hanya bangunan fisiknya yang bertahan, tetapi juga semangat kebersamaan dan dakwah yang diwariskan dari generasi ke generasi. (len/zid)