Sukapura, Lensaupdate.com - Dalam rangka pengembangan ruang interaksi pemajuan kebudayaan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikdaya) menggelar Dialog Budaya Masyarakat Adat Tengger di Pendopo Agung Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura, Selasa (10/6/2025) sore.
Kegiatan yang diikuti oleh warga masyarakat Tengger ini dihadiri oleh Bupati Probolinggo Gus dr. Mohammad Haris bersama dengan Kepala Balai Besar TNBTS Rudijanta Tjahja Nugraha serta perwakilan dari Kementerian Kebudayaan RI dan Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Selain masyarakat Tengger, kegiatan ini juga diikuti oleh Tokoh Adat Masyarakat Tengger Supoyo, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto dan Kepala Desa Ngadisari Sunaryono.
Bupati Probolinggo Gus dr. Mohammad Haris mengapresiasi filosofi hidup masyarakat Tengger yang begitu menghormati alam. “Saya melihat sendiri bagaimana masyarakat Tengger memaknai bumi, air, api dan udara sebagai sesuatu yang suci dan harus dijaga. Ini bukan sekadar ritual, tapi menjadi gaya hidup yang penuh respek terhadap alam," ujarnya.
Lebih lanjut Bupati Haris mencontohkan bagaimana petani kentang di kawasan Bromo masih menjaga kelestarian tanah tanpa banyak bergantung pada pestisida. Ini berbeda dengan trend di daerah lain yang menyebabkan degradasi unsur hara tanah akibat pemakaian bahan kimia berlebihan. "Rasa syukur masyarakat Tengger ini perlu dijadikan contoh, tidak hanya di Probolinggo, tapi juga secara nasional," tambahnya.
Bupati Haris juga menyampaikan terbitnya SK Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Tengger akan menjadi regulasi formal pertama di tingkat kabupaten di wilayah Jawa Timur.
“SK ini akan menjadi acuan, semoga bisa diikuti oleh kabupaten lain di sekitar kawasan TNBTS seperti Lumajang, Pasuruan dan Malang. Apalagi teman-teman DPRD juga berencana menggagas Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) Tentang Pengakuan Masyarakat Adat,” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut Bupati Haris juga menyampaikan tentang pentingnya mendokumentasikan sejarah masyarakat Tengger, termasuk kisah legenda Rara Anteng dan Joko Seger yang selama ini hanya dituturkan secara lisan. “Kita ingin narasi ini tertulis dengan rujukan yang sahih agar bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Ini penting agar tidak terjadi distorsi sejarah,” lanjutnya.
Bupati Haris meminta kerja sama lintas sektor, termasuk melibatkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sekolah-sekolah serta komunitas sejarah lokal untuk menyusun dokumen resmi tentang sejarah dan budaya Tengger, termasuk situs-situs penting sebelum era Majapahit.
“Dalam jangka panjang, pelestarian budaya Tengger ini diharapkan bisa bersinergi dengan sektor pariwisata. Wilayah Gunung Bromo yang menjadi magnet wisatawan nasional dan internasional diyakini akan semakin kuat daya tariknya jika diintegrasikan dengan narasi budaya lokal. Apalagi disini ada SMK yang luar biasa, mari kita arahkan agar budaya dan pariwisata bisa jalan bersama,” ajaknya.
Menurut Bupati Haris, perlunya perhatian khusus terhadap perempuan adat dan generasi muda dalam proses pelestarian budaya. Pemerintah berkomitmen membuka ruang lebih luas agar mereka ikut dalam proses rembuk budaya, pelatihan serta pelibatan dalam forum-forum strategis kebudayaan. “Silaturahmi harus terus dijaga. Komunikasi itu kunci. Ke depan, kita ingin masyarakat Tengger menjadi model bagaimana budaya dijaga dengan penuh cinta,” tegasnya.
Bupati Haris mengajak kepada semua untuk menjadikan momentum ini sebagai langkah awal menuju pengakuan formal, pelestarian dan pemajuan kebudayaan lokal berbasis masyarakat adat.
“Bagi kami prinsipnya hanya satu, apa sih yang tidak buat masyarakat Tengger. Ini bukan sekedar seremoni, tapi langkah strategis menuju masa depan yang lebih berbudaya dan berdaulat secara adat,” pungkasnya. (put/zid)